|
Basah. Aku mengerjapkan mata sekali, pandanganku terlalu samar untuk menyadari aku sedang ada dimana. Yang jelas, tempat itu basah, amat basah, dan untuk bernafas pun sangat sesak luar biasa. Aku menutup mata sekali lagi ketika gelembung oksigen terakhir terlepas dari mulutku, dan seketika kelopak mataku terasa berat untuk kembali membuka. Cahaya samar terlintas di depanku, lalu semua gelap dalam hitungan sepersekian detik. ***
“Kau… Tidak apa-apa?”
“Tidak terlalu sulit, kan?”
“Tante? Sejak kapan umurku berubah sehingga bisa disebut tante, tuan muda?”
“Kau lagi?!”
“Terima kasih.”
“Apa yang sedang kalian lakukan di sini?"
“Come on, it’s just a game.”
“Tidak apa Artois, permainanmu cukup bagus. Kau hanya perlu lebih banyak latihan, oke?”
“Pulanglah, nak. Nenek merindukanmu.”
"De—demi peri pohon oak, kau sudah gila, Zaval—rrr?"
“Za—Zavala?”
“Kakak pulang!”
"Bakat menggoda perempuan polos."
“HEH!”
“Maaf.”
“A-aku— …tidak bisa.”
“Senior Artoiiiiiiis!”
***Tiba-tiba semuanya terasa sangat ringan. Semuanya tampak kabur pada awalnya, dan sinar matahari terlalu silau untukku. Kukerjapkan mata sekali, kemudian mengangkat lengan untuk menghalangi sinar matahari yang menghujam mata. Sisa-sisa pusing masih membekas di kepala, apalagi akibat benturan terakhir ketika pesawatnya menukik nista langsung menuju lautan lepas. Agaknya pesawat itu langsung menabrak batu karang besar, lalu setelah itu guncangan, samar, bau anyir menguar disekitar, darah mengucur, lalu… Gelap? Tunggu. Aku mengganti posisiku yang sedari tadi terlentang pasrah, duduk bersila, lalu memandang keadaan disekelilingku. Err… Aku tidak tahu pasti dimana posisiku sekarang—aku buta arah, masih seperti dulu—dan tempatnya sangat asing. Aku mengangkat alis, kemudian memandang telapak tanganku; hei, aku bersumpah dapat melihat kakiku yang bersila samar-samar melalui telapak tangan, dan hamparan pasir dibalik kakiku juga terlihat samar—gila. Aku terbelalak, nyaris tidak percaya, aku mengucek mata pelan, lalu kembali memandang kakiku. Sama saja. Aku panik sekarang. Menelan ludah, aku segera berlari ke garis pantai, membuka mata selebar mungkin, mencari refleksiku di permukaan kanvas aquamarine bening yang terhampar luas itu. Tidak ada. Aku memandang kebelakang, mencari sebentuk bayangan gelap yang selama ini setia menempeliku. Tidak ada juga. Err, artinya? —aku mati. Ha? Dan tiba-tiba serombongan orang melewatiku sembari tertawa-tawa—menembusku begitu saja. Aku berusaha menarik nafas, namun dadaku sakit. Dingin. Aku takut. Sangat takut. ***"747-200 Alitalia Airlines dari Inggris dengan tujuan Venezia jatuh, bangkai pesawat belum ditemukan; dipastikan semua penumpang meninggal."Aku memandang tanpa nafsu headline koran yang terpampang di salah satu stand loper koran yang kulewati; betapa mirisnya—aku sedang gentayangan, jadi arwah penasaran gara-gara pesawat tolol itu ditabrak benda-tak-dikenal lalu dengan kerennya bermanuver, menabrak batu karang, dan aku melihat headline koran dimana dalam peristiwa itu aku mati. Rasanya lebih sakit dibanding setelah peristiwa kelabu dulu, sungguh. Aku pernah nyaris mati dua kali dan sekarang sudah mati, setelah percobaan ketiga. Yeah, aku memang bukan kucing yang konon memiliki sembilan nyawa. Punya dua nyawa ekstra saja seharusnya aku sudah bersyukur. Sekarang… Aku harusnya kemana, ya? Merutuk dalam hati, aku menggaruk belakang kepalaku, sementara dalam kepalaku muncul macam-macam ekspektasi aneh—misalnya sebenarnya aku masih gentayangan karena aku ditendang lagi dari Surga karena tidak pantas disana, lalu aku juga tidak diterima Neraka karena aku tidak begitu jahat; atau sebenarnya aku masih diberi kesempatan hidup dan tubuhku masih tergeletak entah dimana, tertidur agak panjang, menungguku yang sedang jalan-jalan ini pulang. Aku sih berharap yang kedua. Menghela nafas—err, aku sih maunya begitu, tapi berhubung tidak bisa, ya…—aku berusaha menendang kaleng coca-cola, yang tentu saja tidak berhasil, kalengnya malah melewati kakiku begitu saja—tembus. Tsche. Rupanya banyak hal yang tidak bisa dilakukan oleh hantu, no? Terkadang menyebalkan ketika ingin melakukan sesuatu untuk melampiaskan emosi yang tertumpuk di kepala tapi tidak bisa karena tembus begitu saja; tapi enaknya, aku bisa berlenggang kakung seenak jidat seakan jalanan semuanya milik nenek moyangku tanpa peduli apapun—toh kau tidak kelihatan dan tidak bisa disentuh; tidak bisa menabrak orang, tidak bisa tertabrak mobil, juga tidak terlihat ketika melakukan hal memalukan. Tapi disisi lain, mati itu terasa… Hampa. Mobil-mobil dengan bendera dukacita melintas di depanku, menampakkan sekelebat wajah yang kukenal. Kalian apa kabar? ***Kotak kecil diletakkan, dikubur dalam tanah, lalu sebentuk nisan dipasang begitu saja. Namanya terbaca jelas dari tempatku berdiam sekarang—Zavala Casanova Artois—yeah, namaku. Sedikit sesak juga ketika melihat yang dikuburkan hanya sebentuk kalung yang dulu sering kupakai—semacam kalung keberuntungan—yang tanpa sengaja kutinggalkan di rumah alih-alih tubuhku. Yeah, memang letak mayatku itu entah ada dimana di sudut Bumi ini, kompleks perumahan milik Tuhan terlalu luas, Bumi ini. Mayatku bisa saja sudah tersangkut di karang atau sedang terbawa arus ke Australia. Pfft. Aku terduduk di bawah pohon, mengawasi daerah sekitar makam yang berangsur-angsur sepi, hingga yang tersisa hanya sebentuk eksistensi seekor kucing—Fa, seekor peliharaan terbaik sedunia setelah Sox—memandangi nisanku dengan ekspresi tak tertebak. Beberapa menit kemudian Vienna membawanya pergi begitu saja. Sebentuk senyum terpaksa terbentuk di wajahku, antara ingin menertawakan penampilannya yang berantakan saat itu atau terharu karena dia menangis sepanjang waktu. Menangisi sak tinjunya selama ini. Bercanda. Aku tahu sebenarnya dia sayang padaku. ***“Papa, Papa! Coba lihat ini!”
“Astaganaga, Chester! Dimana kau menemukannya?”
“Itu Papa, ada seseorang yang tergeletak disitu!”
“Hm?”
“Dia kenapa Papa? Apa dia sudah mati?”
“Tubuhnya masih hangat, Gwynne; dan sepertinya masih bernafas. Coba minta Mama panggilkan ambulans.”
“Astaga, Edward! Anak siapa itu?”
“Sudahlah Jane. Panggil ambulans dulu.”***“Fa?” Aku menunduk, menatap kucing putih dengan aksen oranye yang sedang menggeliat diatas tanah makam, yang tadi sempat berbicara miris dengan menyebutkan namaku. Hell yeah, aku merasa punya hubungan batin dengan anak Sox ini. Dan tadi apa? Dia bilang Sox mati? “Hei, ini makamku, ya?” aku tergelak, berusaha memecahkan keheningan janggal diantara kami. Dia tampak kaget aku—dalam bentuk arwah yang setengah mengapung—ada dihadapannya, sepertinya; “Rasanya aneh melihat makam ini, sungguh. Tidak percaya rasanya aku sudah mati.” “Konyol.” “Ahaha, aku tahu konyol, Fa. Tapi entah kenapa selama 40 hari ini aku merasakan secercah cahaya bahwa aku masih hidup.” Hmmph, aku pasti terdengar konyol. “Ngomong-ngomong, itu…” aku mengerling singkat ke arah kapel yang tidak begitu jauh dari makam yang sedang aku duduki, menunjukkan tanpa antusiasme, “Sedang ada misa?” “Untukmu.” Err, sudah 40 hari semenjak aku pergi, no? Tadi hanya estimasi saat aku bicara pada Fa. Selama luntang-lantung dalam bentuk arwah, aku sama sekali tidak tahu tanggal dan waktu, jujur saja. Aku menutup mata pelan, samar-samar menangkap nyanyian sakral dengan nada mendayu menyayat hati berkumandang dari bangunan itu, terdengar cocok dengan rintik hujan yang sedari tadi tidak mereda. Beberapa menit kemudian lagunya berhenti, pintu terbuka dan payung terkembang. “Ups, aku harus pergi, Fa. Dadah.” ***Sekali lagi, mataku terbuka di tempat yang tidak dikenal. “Papa! Dia sudah bangun!” Pekikan anak sopran cempreng terdengar di dekatku, membuatku memandang berkeliling ruangan dengan bingung. Ruangannya serba putih dan tampak dingin. Aku baru sadar kepalaku disangga bantal yang lumayan empuk dan tubuhku terbaring tak berdaya di tempat tidur yang agak keras—khas rumah sakit—dan di tanganku terpasang berbagai macam selang; belum lagi kepalaku yang terbebat rapi, membuatnya berat. “Siapa namamu, nak?” “Err… Aku…” kosong, pikiranku benar-benar terasa blank, dark. Semua memori yang ada di dalam otakku terasa seperti baru saja teracak-acak, arsip memorinya terasa berantakan. Tidak. Aku menutup mata erat-erat, kepalaku pening. “Tidak apa-apa. Kau luka parah. Aku tidak heran jika kau amnesia.” Amnesia? Aku mengerenyitkan dahi. Tidak, aku tidak amnesia. Namaku… Za—Zavala? “Za—Zavala,” aku berujar lirih. “Zavala Casanova Artois.” Aku hidup? ***“SUDAH KUBILANG, KAN?! SENIOR ARTOIS TIDAK MUNGKIN MATI SECEPAT ITU!” pekikan bahagia terlontar dari bibir Snowden ketika melihatku bersender di salah satu tiang di peron 9 ¾, menunggu Hogwarts Express dari kastil tua itu kembali ke King Cross. Beberapa orang langsung berhamburan ke arahku, setengah tidak percaya aku masih hidup, setelah berita kematianku yang mereka terima beberapa bulan lalu. Yah—mereka juga tahu dariku sih, aku ternyata masih diijinkan hidup; setelah surat yang kukirim untuk mereka. Aku hanya bisa nyengir lebar ketika mereka menubrukku, termasuk beberapa senior dan teman seangkatan yang ikut datang ke stasiun itu. Senior Vygotzsky mengacak rambutku, senior Napoleon dan Lovecraft menebar-nebar confetti. Mereka… Selalu saja seperti itu. Masih seperti dulu eh, saat aku masih bocah kecil ingusan yang payah dan hanya bisa membuat tim kalah. Dan satu hal yang tak kuduga— —Agatheness memelukku dan menangis. “Aku pulang, semua.” Labels: agatheness, artois, fic, happy ending, ILYAF, ravenclaw, them, tim
| |
Katanya, Tuan Zavala mati. Tatapanku mendongak kosong ke makam yang terpasang kokoh di depanku, sedikit miris melihat nama majikanku terpahat di nisan kelabu—Zavala Casanova Artois, begitu bunyi tulisannya. Hidupnya memang pendek, tuanku itu, namun aku cukup tahu dalam jangka waktu sependek itu dia memiliki banyak hal istimewa—semua orang yang berlalu-lalang disekitar makam ini sejak tadi membuatku bergidik. Semuanya berbaju hitam dan menangisi kepergian tuanku itu; bahkan ada yang terdiam lama dan berbicara sembari memandang langit, berusaha kuat menahan air mata yang sudah sampai di batas pelupuknya, belum lagi memaksa untuk tersenyum timpang. Ah, tuan; kau bahkan belum menginjak usia 18 tahun. Aku menoleh dengan rasa penasaran ketika dua orang ibu-ibu sedang berbisik di dekat makam—cukup familiar; mungkin itu teman-teman ibunya tuan Zavala yang secara rutin datang ke rumah untuk mengocok sesuatu dan makan-makan. Haiyah, kalau kalian berbisik bukan berarti semuanya tidak mendengar, nyonya; aku cukup peka untuk mendengar apa yang kalian bicarakan. Dasar ibu-ibu memang tukang cari sensasi—batinku terbeliak ketika mengetahui mereka membicarakan tuanku yang bahkan sudah tidak bernafas lagi. Burung besi sialan itu merengutnya, menenggelamkannya ke kanvas aquamarine transparan, tempat mayatnya beristirahat jauh di laut sana—aku berjanji suatu hari aku akan mencari si burung jelek itu dan mencabiknya. Brengsek. Aku naik ke atas gundukan tanah makam yang masih segar, mengacak taburan bunga yang masih basah diatasnya. Tidak ada tubuh tuan Zavala disini; untuk apa mereka menangisinya disini dan bukannya mencari tubuh tuanku, para manusia aneh itu. Bahkan ada beberapa orang yang pergi dari London untuk menghadiri misa requiem-nya. Padahalkan dia tidak ada disini. “Fa?” lirihan kecil memanggilku; suara Vienna. Aku menoleh; matanya sembab dan gaun hitam yang begitu cocok dilekuk tubuhnya begitu lecek—seumur-umur, baru kali ini aku melihat penampilan Vienn dekil, sungguh. Dia selalu tampak cantik dari waktu-ke-waktu, perfeksionis. Bahkan rambut pirangnya—dulu warnanya burgundi dan dia mengecatnya—terurai berantakan, tidak terikat rapi. “Ayo pulang…” Sebelum berhasil kabur, dia sudah menarikku dalam dekapannya, butiran chesnutnya memandang makam tuanku sendu sekali lagi, lalu berbalik, kembali menahan air mata agar tidak mengalir ke pipinya. Kugesekkan kepala pelan ke dagunya, lalu mengeong sekali. Oh well, aku tidak yakin sih dia mengerti maksudku, namun melihatnya tersenyum kecil pun aku merasa sedikit lega. ***Tap. Empat kaki putihku mendarat luwes di bebatuan kusam. Tepat di depan nisan yang sama, masih milik tuanku. Sejujurnya aku tidak rela dia mati secepat ini—hei, hanya dia yang cukup mengerti jalan pikiranku. Satu-satunya manusia yang secara garis besar mengerti apa yang ingin kukatakan walau hanya dari dengkuran atau suara ‘meong’ yang sebenarnya aku benci. Betapa curangnya Dia-Yang-Maha-Sempurna, menciptakanku hanya dengan suara dengkuran dan ‘meong’ yang terkadang membuat aku diusir dari satu tempat karena dianggap mengganggu, sementara manusia dengan asyik bisa berbicara lancar dan luwes dengan lidah mereka yang standar. Suara mereka pun bagus, aku pernah mendengar sekumpulan manusia bernyanyi ketika aku melewati bangunan putih yang sederhana namun terlihat megah dan aura menenangkan—namanya gereja, kalau tidak salah ingat. Tapi aku bersyukur tuan Zavala pernah ada. Walaupun begitu cepat dia diambil kembali, tiga tahun bersamanya sangat menyenangkan. Aku kembali memanjat ke atas makam, lalu merebahkan tubuhku diatas gundukan tanah yang menutup makam semu milik tuanku itu. Yang dikuburkan di dalamnya hanya kalung yang dulu sering dipakainya. Entah dia sudah tahu bahwa dia akan menghilang dan meninggalkannya sebagai penanda, ataukah karena kalung itu tidak dipakainya, rantai kehidupannya putus tepat diatas laut yang menjadi tempat peristirahatan abadinya? Memusingkan. Seekor kucing sepertiku sepertinya tidak pantas berpikir secara logika layaknya manusia. Aku menguap kecil, merenggangkan tubuhku, lalu tertidur di tanah empuk itu. Aih, jarakku dengan penanda terakhir tuanku tak lebih dari tiga meter. ***Hujan. Sudah 40 hari terhitung dari tanggal 1 September—tanggal dimana tuan Zavala dinyatakan mati, dan langit sekarang menangisi tanggal dimana arwah tuanku itu sedang melanjutkan langkahnya dari dunia ke tempat yang lebih baik diatas sana. Tempat Dia-Yang-Maha-Sempurna berdiam, istananya sementara kotanya begitu besar terbentang di Bumi buatannya. Aku menggerakan tubuhku, mengibaskan bulu putih dengan aksen oranye yang sudah mulai lepek dan saling menempel karena tangisan langit yang tidak berhenti menyapa tanah semenjak tadi. Semua manusia yang 40 hari yang lalu datang ke makam tuanku sedang mengadakan misa di kapel yang ada di komplek pemakaman ini, sementara aku sendirian duduk disini—di muka makamnya yang sudah basah. “Tuan, aku kangen.” namun hanya suara ‘meong’ lirih yang keluar, miris. “Vienna selalu menangisimu sepanjang malam dan Nathan tidak pernah memasak lagi.” Aku terdiam, merutuki diriku sendiri yang tidak bisa berbicara. “Ayah mati. Beberapa hari kemudian ibu menyusul. Disana ada Surga untuk kucing tidak?” Beberapa tetes hujan jatuh dipelupuk mataku, mengalir ke bawah dengan cepat, terserap buluku beberapa detik kemudian. “Fa?” Serak basah yang familiar terdengar, lirih dan miris. Aish, delusi. Aku cukup yakin itu suara tuan Zavala, tapi dia kan sudah mati. Aku mendongak memandang nisannya, entah kenapa sedikit berharap tulisan itu luntur ataupun tidak pernah ada. Aku terbelalak ketika melihat sebentuk bayangan nyaris tembus pandang terpampang di hadapanku, terduduk di atas nisan dengan sengiran terpatri di wajahnya. Familiar. Tuan Zavala. “Hei, ini makamku, ya?” dia tergelak, menunjuk makamnya sendiri. “Rasanya aneh melihat makam ini, sungguh. Tidak percaya rasanya aku sudah mati.” “Konyol.” “Ahaha, aku tahu konyol, Fa. Tapi entah kenapa selama 40 hari ini aku merasakan secercah cahaya bahwa aku masih hidup.” Ah, brengsek. Arwah tuanku yang masih gentayangan tiba-tiba datang dan bilang bahwa setengah dari dirinya masih hidup. Goblok. Kenapa harus bilang begitu? Itu hanya membangkitkan harapan kosong bahwa dia masih bisa ada disampingku lagi. Sial. “Ngomong-ngomong, itu…” dia menunjuk kapel, “Sedang ada misa?” “Untukmu.” Dia terdiam, memandang kosong ke arah kapel itu dengan tatapan sedikit miris. Beberapa detik kemudian pintunya menjeblak terbuka, dan kerumunan orang berbaju hitam melangkah keluar satu-persatu. Payung-payung terkembang beberapa detik kemudian, berusaha menepis tangisan si langit yang tak kunjung reda. “Ups, aku harus pergi, Fa. Dadah.” “…” Yeah, dah, tuan. Sampai bertemu lagi. Beberapa detik kemudian, tangisan langit mereda perlahan, menampakkan sedikit sinar matahari dibalik awan bekas hujan. Dan sebentuk lengkungan spektrum tujuh warna terbentuk disana. Ah ya, dan langit pun tersenyum mengantarnya. Labels: artois, death, fa, fic
| |
"Zavalaaaaa!” teriakan familiar berkumandang di sepanjang lorong, membuatku merapatkan selimutku lebih rapat lagi—aku pasti tampak seperti kepompong gagal sekarang. Detik berikutnya, pintu hitam yang menjadi satu-satunya jalan masuk dan keluar dari ruangan persegi berantakan yang sudah kutempati seumur hidupku menjeblak terbuka, menampakkan sesosok gadis berambut pirang—Vienn; penampilannya sungguh membuatku tercengang beberapa bulan lalu ketika aku pulang ke rumah setelah menamatkan pendidikanku di sekolah itu. Yeah; dia mengecat rambut panjang burgundinya menjadi pirang, the hell—tampak sedikit lebih feminim, memang, tapi tidak dengan tingkat kebengisannya. “BANGUN!” tendangan keras terlayang ke punggungku, membuatku dengan pasrah terdorong jatuh, berbenturan dengan lantai yang keras dan dingin. Cih, barbar. Aku tidak percaya setelah tujuh tahun aku pergi dari rumah, aku akhirnya merasakan rutinitas yang sama seperti sebelum surat dari sekolah itu datang dan mengantarkanku pada rangkaian peristiwa-peristiwa yang belum pernah kurasakan di sekolah biasa. Yeah, sekolah itu memang sekolah yang berbeda dengan sekolah tempat aku belajar dulu sekali. Hogwarts. “HEEEEEEEEI!” jitakan terlayang ganas ke kepalaku, membuatku tersadar dari lamunanku, “Kata Mom hari ini kau akan ke London?! Kenapa masih bengong saja, sih? Cepat dong siap-siaaaap!” rentetan omelan berkoar dari bibir Vienn, membuatku sedikit bingung. Kupandangi kalender dengan tampang bingung, ingin memastikan tanggal hari ini—entah kenapa hari berjalan cepat akhir-akhir ini; mungkin karena sudah tidak ada yang aku tunggu lagi, hm? Benar saja kata Vienn. 30 Agustus. Tanggal keberangkatan yang tertera di tiket yang tersimpan rapi di tas postman bag-ku. “Masih bengong jugaaa?! Ayo cepat siap-siap! Jangan sampai ketinggalan pesawat. Kau pikir tiket pesawat murah?” bentakan lagi, dan aku langsung ngacir ke kamar mandi—sebelum ada apapun yang menjitak atau bahkan membunuhku karena aku terlihat lambat di mata Vienn. ***Ah ya—aku sebenarnya bertanya-tanya pada diriku sendiri kenapa aku memilih untuk naik pesawat saja dan bukannya ber-apparate, padahal aku sudah cukup menguasai skill itu sekarang dan tidak meninggalkan satu bola mata atau kaki kiriku di tempat asalnya. Semua salah Mom, ngomong-ngomong, yang tidak mengijinkan anak ketiganya untuk ber-apparate karena rasa takutnya setelah Dad bercerita tentang kasus-kasus menyedihkan yang terjadi saat apparate. Jadi ini juga salah Dad. Aku menghela nafas malas, sekali lagi memandang refleksiku di cermin. Masih sama seperti setahun lalu—rambut coklat jabrik, mata coklat dengan tatapan tajam malas, dan bibir tipis serta kulit kecoklatan. Masih kurus dan bertampang menyedihkan. Sekali lagi mencoba menyisir rambut pendek kecoklatan yang tidak bisa diatur itu sampai akhirnya menyerah, aku melempar sisir kembali ke tempatnya, segera keluar dari kamar mandi. Jam 9. Menyambar postman bag dekil yang sudah kupakai selama lebih dari tujuh tahun, aku segera melangkah keluar kamar; antara sedikit terburu-buru dan tidak mau disepak olehVienn. Dia selalu tepat waktu dan rapi, dan sepertinya malu karena aku yang notabene adiknya itu dekil, berantakan dan jam karet. “Pagi semua…” ujarku malas, memandang singkat satu-persatu entitas yang ada di ruang makan. Dad dengan Daily Prophet-nya, Mom dengan tumpukan majalah fashionnya, Vienn dengan telepon di salah satu dinding ruang makan, Nate dengan peralatan dapurnya. Sebuah sengiran terpeta di bibirku—pagi yang biasa. Dad mengangkat kepalanya dari korannya, mengangguk lalu kembali berpaling, menekuni koran yang bergerak-gerak itu. Mom tersenyum dan melambaikan tangannya, Vienn hanya memandang sejenak lalu kembali bercuap-cuap di telepon, pintu dapur menjeblak terbuka dengan Nate dan piring-piring yang menguarkan wangi enak. Aku melangkah masuk, lalu langsung mendudukan diriku di kursi yang masih kosong, menatap piring dengan sosis dan garlic bread diatasnya—pfft, setelah sekian tahun, Nate sudah berhasil mewarisi keterampilan memasak Nenek, hm? “Hari ini pesawatmu berangkat jam berapa, boy?” suara berat membuka percakapan, membuat tatapanku teralih dari sarapanku; alisku terangkat sedikit, nyaris tidak percaya Dad bertanya hal yang menurutku tidak penting untuknya. Tumben. “13.00,” jawabku singkat, lalu mulai menusuk-nusuk garlic bread buatan Nate, memasukkan ke mulut, mengunyah, menelan. “Kenapa?” “Dad antar, ya?” “Ha?” ***“Hati-hati dijalan, mio caro!” Mom melambai-lambai ke arahku, sedikit sesenggukan, pffft, seakan-akan aku akan mati besok saja. Aku berpaling menatapnya, menyunggingkan sebentuk senyum; semoga bisa memenangkan hatinya, batinku. Sejak aku kabur dari rumah dulu, Mom memang jadi sering lebay terhadapku. Aku sempat mengerling melihat Dad yang hanya terdiam, bersender di tembok ruang tunggu sementara aku berbalik untuk melanjutkan langkahku; tepat ketika seruan familiar kembali terdengar. “Cepat pulang ya kaaak!” “Hati-hati di jalan, dekil. Jangan bikin malu!” Okeee, kenapa semua terdengar berkata seakan aku akan mati besok, ha? Mengangkat bahu tidak kentara, aku mengangkat tanganku, mengacungkan jempol pada kedua saudara sedarahku itu sembari melanjutkan langkah yang sempat terhenti tadi. Pada akhirnya semua berebut mengantarku ke bandara, sampai akhirnya Dad memutuskan semuanya ikut pergi, astaga. Setidaknya aku tahu mereka sayang padaku. ***“Hei, kakak;” Aku meletakkan sepiring bacon dan kentang goreng di hadapan seorang gadis yang usianya terpaut sekitar setahun diatasku, lalu duduk dihadapannya, “Lama tidak ketemu, eh?” imbuhku, mencomot satu bacon dari piring. Rasanya memang janggal memanggilnya kakak; tapi well, kakaknya memang kakak iparku alias suami kakakku—yeah, sebenarnya aku juga masih heran pada kakak tertuaku; pertamanya aku menganggapnya mati karena kejadian tolol dulu sekali, namun tiba-tiba dia kembali begitu saja, sudah punya calon istri, pula—yeah, Gretha Qualfrey. Dan secara teknis, adiknya, Gloria Qualfrey, adalah kakakku juga. “Yeah, kabarmu baik?” “Cukup baik. Sendirinya?” “So-so. Kau tidak bohong lagi, kan?” Aku tergelak. Cih, rupanya dia masih ingat kejadian di tangga beberapa tahun lalu itu. Terkadang mantan prefek Ravenclaw dihadapannya itu memang bisa membaca jalan pikiran atau keadaan orang lain, mungkin? “Tentu tidak.” “Ehm, bagaimana dengan… Siapa namanya? Agatheness?” “Biasa saja. Maunya sih nanti siang ke King Cross untuk mengantarnya.” Yeah, tujuan utamaku ke London memang itu. Selain untuk temu kangen dengan beberapa rekan lama dan bernostalgia—cih, padahal baru tiga bulan, namun rasanya ingin sekali kembali ke sekolah itu dan belajar lagi; jujur saja, aku masih cinta mati dengan Danau Hitam yang entah kenapa selalu menjadi tempat terbaik di sekolah itu, atau ruang rekreasi dengan bulan purnama, atau Pesta Akhir Tahun dengan segala kegilaannya—sesuatu yang pantas dirindukan, sungguh. Ah, kamomil. Aku tidak pernah bisa berhenti jatuh cinta padanya. ***Ah ya, selamat datang di King Cross. Aku mengerling sejenak ke jam besar yang terpampang di salah satu pilar tua stasiun itu—sedikit lagi fragmen kenangan lewat di depan mataku, menampilkan grayscale film kilat yang menampilkan aku-versi-bocah yang sedang mendorong troli yang berisi koper besar, berlali seakan dikejar setan, berkali-kali menatap jam yang sama, memastikan aku tidak terlambat naik kereta karena kebiasaan burukku. Aku yakin Vienn akan memaki-maki dengan semangat jika dia tahu bahwa kejadian seperti itu pernah terjadi. “A—Artois…” sebuah lirihan terlantun disebelahku, membuatku tersadar dari lamunan panjang tentang masa lalu yang konyol itu. Suara yang familiar, wangi yang familiar, sosok yang sangat familiar. Ylva Agatheness—yeah, kamomil yang entah kenapa kucintai setengah mati. Aku melirik malas ke sampingnya, mendapati sesosok bodyguard yang pernah mendeklarasikan bahwa dia akan menjaga Agatheness selamanya itu berdiri kaku dengan angkuh di samping si kamomil, menatap dengan tatapan galak penuh selidik ke arahku. Yep, dia-yang-namanya-sering-terlirih-dari-bibir-Agatheness. Bikin iri, memang. Tapi apalah arti seorang Zavala Artois dibandingkan dengan Salisverre Gilchrist? “Yo, Agatheness;” ujarku, berusaha memasang sengiran setulus mungkin, berusaha mengacuhkan si Gilchrist itu, “Apa kabar kalian, junior?” Euh, rasanya sekarang junior tidak enak diucapkan, setelah beberapa bulan lalu kau resmi lulus dari sekolah itu, rasanya tidak enak masih memanggil kenalan yang masih bersekolah disana dengan sebutan junior. Dan dipanggil senior, err? “Baik, se—sendirinya?” “Cukup baik.” Lalu diam lagi, selalu begitu. “Well, kita ke peron 9 ¾ saja.” Tanpa berkata apa-apa lagi, aku memasukkan tangan ke saku celana jeansku, lalu melangkah di depan kedua orang yang berjalan berdampingnya menyusulku—yaah, cinta bertepuk sebelah tangan memang menyedihkan. Aku menatap satu-persatu plang peron, mencari yang bernomor sembilan, lalu tanpa basa-basi melangkah menembus pilar antara peron sembilan dan sepuluh. Ah, rasanya sedikit janggal kalau tidak membawa troli besar seperti dulu, ya? Aku mengerling sejenak ke belakang, memastikan dua junior itu masih ada dibelakangku—ah, tidak; lebih tepat dibilang ingin melihat Agatheness. Keramaian yang sama. Sepilas-sepilas wajah familiar. Mereka yang pernah disebut junior. “Senior Artoiiiiiss!” Ah, ya, saya? Mencari-cari asal suara dengan tampang cengo—hella good, ada juga yang tahu dan mengenalku bahkan memanggil disini; kupikir semuanya sudah lupa. Tiga bulan itu lumayan panjang untuk melupakan orang yang hanya kau kenal-sambil-lalu, toh? Er, tapi pemilik suara cempreng itu bukan seorang kenalan-sambil-lalu, sih. Yeah, Shine Snowden. Teman seasrama, teman setim, bekas junior. “Yoo, Snowden;” Aku menepuk kepalanya pelan ketika dia berlari menghampiriku dan menubrukku dengan semangat. Salah satu chaser terbaik Ravenclaw, selain dua entitas yang tidak kalah keren itu; aku akan menceritakan mereka nanti. Dan lihat siapa disana. Thanatos. Harue. Windstroke—tidak lupa Ragnavald disampingnya. Swan. Hylhymn, Yaroslav. —mantan junior, banyak mantan junior, sangat banyak mantan junior. Mayoritas memang tidak begitu kukenal, namun beberapa nama yang sudah terlintas dipikiranku tadi bisa dibilang teman; setidaknya derajatnya satu tingkat diatas mereka yang hanya bisa disebut kenalan, no? Sebentuk senyum tersungging ketika dia menghampiri mereka—Thanatos, Harue dan Swan yang sedang asyik berbicara soal Quidditch; mereka berdua Chaser yang hebat, sangat malahan, Thanatos dan Harue itu. Sejak mereka masuk tim, semangat tim yang dulunya leye-leye jadi terdongkrak, natural born chaser, suer deh. Swan juga beater yang keren. Windstroke si gagu dengan Ragnavald sedang berdiri agak kepojok, bergandengan tangan dengan mesra—ciakaka, aku cukup yakin Ragnavald akan merindukan Windstroke selama setahunan ini. Hylhymn dengan urusannya sendiri sempat melambai sejenak padaku, menanyakan kabarku namun sudah terseret pergi sebelum aku berhasil meresponnya. Yaroslav hanya diam, ketika aku melempar seulas senyum padanya—dia… Yang jantungnya milik Gevanni, kan? Yah, senior keren itu punya tempat di memorinya juga. “Ahoy, chaser keren masa depan…” celetukku, merangkul Thanatos dan Harue, “Bagaimana? Quidditch masih seru?” imbuhku, mengingat selama setengah tahun belakangan aku sama sekali tidak tahu apa yang terjadi di lapangan karena penyakitku kambuh dan kembali terbaring di Hospital Wing dengan iring-iringan ceramahan Madam Pomfrey. Aku sama sekali tidak bertemu mereka begitu lulus; seakan hilang saja. “Seru banget, senior.” “Thanatos mainnya bagus! Memang dari dulu, sih.” “Harue juga jago.” “Sudahlah—kalian berdua keren, sungguh.” Aku mengacak rambut mereka pelan—memang tindakan yang kurang pantas mengingat mereka sudah menjejak umur 16 tahun; peduli amat, buatku mereka masih bocah kecil yang sama, haha. “Kau juga, Snowden,” imbuhku, menepuk puncak kepalanya sekali lagi. Aku menghela nafas ketika pandanganku teralih ke kereta merah yang sedang berdiri kaku di relnya, mengepulkan asap. Hm… Kereta tua yang sama; Zavala masih hafal jelas letaknya, gerbong dua kompartemen delapan. Ah ya, mereka semua. Gevanni, Winter, Sieghart adegan sinetron Lapin dan Heigl—pokoknya ramai—ada dementor, death eaters dan semuanya. Terkadang aku masih bersyukur masih bernafas sekarang ini. “Nah, nah, sudah mau jam sebelas. Sana semuanya naik kereta.” ujarku tanggung, nyaris tidak rela untuk melangkah keluar stasiun dan bukannya naik ke kereta itu dan pergi ke Hogwarts lagi—padahal tempat itu sebegitu menyenangkan; tujuh tahun yang keren. Penuh memori, terekam dalam setiap batu yang membangun tembok dan lantai sekolah itu, tangga-tangga penuh misteri, tetesan air hujan, danau, bahkan toilet; asrama biru dengan lambang elang setengah gagak. Sekali lagi tersenyum pada mereka, aku melangkah mundur, termangu. Dan keretanya berangkat begitu saja; para ibu-ibu menangis haru mengantarkan anak-anak mereka, melambai-lambai, mengiringi anaknya yang melangkah menjauh dengan bisikan-bisikan doa. Ah, semoga mereka beruntung tahun ini—semuanya. ***“Oke, aku pulang dulu, kak;” “Hati-hati di jalan.” Nyengir kecil pada partner-in-crime semasa sekolah merangkap saudara jauhku, aku mengayunkan kaki malas, nyaris tidak ingin pergi. Tahun depan harus kesini lagi; aku mengucapkan janji pada diriku sendiri. “Dah.” ***“Penumpang, ini kapten berbicara. Sisi kapal kita tertabrak benda asing dan kita harus melakukan pendaratan darurat.” Bzz. Kepalaku berputar-putar, sungguh. Aku menutup mata, mencoba mengabaikan guncangan tidak enak yang membuat sekujur tubuhku sakit, perutku mual, ah, pokoknya amat sangat tidak enak, tch. “Pe… bzzzt… pang… Ha… bzzt…p…” Aku tidak bisa mengingat apapun. Sumpah, seluruh tubuhku mati rasa. Aku merasa akan mati sebentar lagi. Pesawat itu menukik ke bawah, membuatku terhempas ke belakang. BRAK! ***"747-200 Alitalia Airlines dari Inggris dengan tujuan Venezia jatuh, bangkai pesawat belum ditemukan; dipastikan semua penumpang meninggal."Labels: agatheness, artois, death, fic, memories, qualfrey, ravenclaw
| |
Mimpi buruk. Sangat. Zavala merasakannya; keberadaan anak manusia lain di ruangan luas itu; kamomil. Kedua butir chesnutnya masih tertutup rapat-rapat, mencoba memberi impresi bahwa dia masih terlelap; menajamkan pendengaran dan insting akan pergerakan di sekitarnya; mengatur nafas setenang mungkin—jelas; cucu hawa beraroma kamomil itu jelas dikenal oleh bujang tanggung itu— "Kau punya bakat."
Butir chesnut Zavala mengerling lambat, memandang sesosok cucu hawa yang sedang selonjoran di dekatnya; antara bingung dan tertarik dengan topik baru yang tiba-tiba disebutkan oleh teman seangkatannya itu. Alis bujang tanggung itu terangkat sedikit, menunggu si lawan bicara melanjutkan kata-katanya.
"Bakat menggoda perempuan polos."
"Hahaha. HAH?! Siapa?" perempuan polos?
"Agatheness, sepertinya."
"Hah? Menggoda maksudmu?"
"Kau tentu mengerti maksudku."
"Aku jelas tidak menggodanya."
"Oh ya?
"I—iya?"
"Ya, kau menggodanya."
"HAH? Demi apa?"
"Firasat."
"Menggoda—seperti apa?"
"Membuatnya... menangis?" Senyum kemenangan.
—bingo. Agatheness, Si perempuan polos menurut persepsi rekannya itu. Okeee, tidak perlu diingatkan berkali-kali, kan, bahwa Zavala pernah membuat nona serba hitam yang polos itu nyaris dua kali? Saat mereka pertama kali bertemu gadis itu nyaris menangis; saat bertemu sekali lagi dia sukses menitikkan air mata dari kedua maniknya yang unik itu; sehijau rumput dan sebiru langit—warna yang begitu kontras namun tampak cantik—setidaknya terlihat cocok bagi si bujang tanggung jika nona serba hitam itu yang memilikinya. Alis bocah Italia itu terangkat pelan ketika gadis itu kembali berbicara; seolah bercengkrama dengan orang lain yang ada di situ; walau jelas tidak ada entitas berlabel manusia di ruangan luas itu. Jelaslah bujang tanggung itu tahu si gadis berkata-kata pada siapa. Svarte, kan—boneka beruang lucu yang pernah direbut Zavala ketika Pesta Akhir Tahun; boneka manis berwangi sama dengan pemiliknya—ah, kamomil, kamomil. Entah kenapa Zavala tidak bisa berhenti jatuh cinta pada wangi itu. Keretak kecil bergema di hadapannya lirih, nyaris tak terdengar. Sinaran temaram api yang semakin lama semakin redup—api yang jelas tidak begitu diperlukan malam itu yang notabene kaya akan sinaran kaca besar pengiring Bumi yang memantulkan pancaran pusat tata surya yang sedang bersinar di belahan lain Bumi; di Asia, mungkin? Saat ini, rasanya bulan seperti spotlight; tokoh utamanya jelas sosok ringkih yang masih mengagumi sinaran cerah yang menelisik masuk dari kaca-kaca transparan itu. Hm? Dan Zavala? Antagonis, jelas. Penggoda gadis polos. HAHA. Membuka kedua butiran chesnutnya diam-diam, berusaha agar kedua manik coklat beningnya tidak memantulkan kilatan api yang masih menari lesu di depannya, Zavala menelan ludah; masih berusaha mematung. Langkah-langkah mendekat mengecilkan jarak antara mereka berdua; lalu terhenti. Hening. "Maaf." Serak basah terlantun; nyaris bersamaan dengan lirihan sopran melankolis yang mengatakan hal yang sama. Hening lagi. Sementara si bocah Italia tertegun; tersembunyi dalam siluet malam. Labels: 1983, agatheness, artois, asrama ravenclaw, bulan, moonlight, voiceless
| |
Imaji. Mimpi. Emosi. Memori. Kenyataan. Sakit. Moon don't tell me lies, don't let me roam forever.Mimpi membuat manusia jauh dari kenyataan, jadi kita harus menjauhi mimpi; itu yang pernah diungkapkan seseorang ketika sang bujang tanggung yang tengah terlelap terbungkus kesunyian disitu bercerita soal mimpinya, jauh di masa kecilnya. Mimpi membuat orang terbang; dan kalau terbang terlalu tinggi, rasanya sangat sakit kalau nanti terjatuh; begitu ungkap saudari sedarah si bocah ketika dia bertanya kenapa sang kakak tidak ingin bermimpi. Mimpi itu buruk, mimpi itu menakutkan. Begitu jawab satu-satunya adik yang dimiliki si lelaki Italia ketika si lelaki mendapati sang adik terbangun dari tidur malamnya. Orang yang terlalu banyak bermimpi itu bodoh; mereka tidak pernah dewasa; nasehat itu yang tertutur tegas dari bibir sang Ibunda ketika Zavala bertanya maksud frasa-frasa yang diungkapkan berbagai oknum yang dikenal si bocah. Jadi, mimpi itu sampah, begitu? Moonlight take the sky, show me the way to heaven.Tubuh kurus si bujang tanggung berbalik pelan, secara refleks mencari posisi untuk terlelap yang lebih baik karena rasa sakit yang dirasakan tengkuknya semakin menjadi setiap detik-detik yang luruh dalam jatah waktu hidupnya. Tubuh kurus yang terbalut kaus putih seadanya itu terlihat kosong; tampak terlalu lelah untuk bergerak karena setiap titik usahanya beradaptasi dengan gaya kelas baru sementara sudah nyaris dua tahun dia absen dan menjadi tidak eksis dan terlupakan diantara teman-teman seangkatannya—sementara jiwa sang pemilik melayang dalam angannya untuk pergi ke bulan, terus melayang mengelilingi tata surya, tengggelam dalam bayang-bayang sang dewi malam yang bersemayam di hamparan beludru hitam luas, menjadi saksi bisu setiap tarikan dan hembusan nafas si bujang tanggung. Hidup itu melelahkan, brengsek. TRANGG!Denting besi-besi yang beradu menggema di seluruh ruangan temaram itu, chestnut Zavala terbuka hambar, kemudian selaput dan kelopaknya terkatup lagi, entah kembali dalam imaji mimpi yang terpapar indah dalam peta pikirannya atau terdiam dan berpura-pura tidak terbangun untuk mengawasi keadaan, atau setidaknya membiarkan si pembuat suara yang tampaknya sedang panik untuk pergi melarikan diri; well, Zavala sama sekali tidak terganggung kok; setidaknya, sepertinya untuk sekarang ini tubuh itu bahwa tidak berjiwa—dan pada hakikatnya alfa, mati sejenak; terbawa arus mimpi absurd yang tidak pernah diketahui akhirnya—kematian, kah? I stay, I pray, I see you in heaven far away, I stay, I pray, I see you in heaven one day.Bohong kok, bocah Italia itu tidak mati; setidaknya... Belum. Tarikan nafas teratur seharusnya sudah cukup menjadi bukti bahwa tubuh itu masih hidup, kan, setidaknya raganya hidup, walaupun jiwanya terhapus sedikit demi sedikit, sementara eksistensinya mulai menghilang sampai akhirnya menjadi onggokan daging bernama, dan bisa melakukan kegiatan yang biasa dilakukan yang pada hakikatnya adalah manusia, namun si tumpukan daging tidak bisa disebut manusia; karena dia gagal. Sangat gagal. Dan terlalu berdosa sampai-sampai tidak diberikan kesempatan kedua untuk mencoba lagi; terlalu payah untuk mengembalikan eksistensi yang pernah hinggap dalam setiap orang yang ingat namanya. Kau terlalu idiot, bocah. Dan kau brengsek. Labels: 1983, agatheness, artois, asrama ravenclaw, bulan, moonlight, voiceless
| |
Oh— ngomong-ngomong. Ada satu hal yang baru disadari oleh Zavala. Rupanya pertanyaan retoris yang terlantun lemah dari bibir senior dihadapannya itu sungguhan. Disela-sela rasa menyesalnya tadi, sempat terdengar lantunan bernada bertanya—yang artinya cukup-cukup mirip dengan pertanyaan pertama; membuat si bocah Italia cukup kaget mendengarnya. Seorang Gloria Qualfrey yang pelit berbicara menanyakan hal yang mirip pada dia yang bukan siapa-siapa; menunjukkan keramahan yang sepertinya jarang diungkapkannya. Gabungan kata-kata How's ditambah your ditambah life lalu diberikan aksen '?' tampak seperti ilusi barusan. Ehm, hanya sedikit sok tahu. "Kau salah makan? Lain kali periksa dulu kalau-kalau brokolinya ternyata sedikit berbau—"Dan si bujang tanggung tergelak. Setelah kenal dan secara tak sengaja bertemu secara kebetulan dengan cara tidak enak nyaris setiap tahun, bocah Italia itu barus tahu si prefek baru yang beberapa waktu silam ikut berenang di danau dengan bahagia itu bisa berbicara sepanjang itu dengan nada agak khawatir. Halusinasi? Atau yang duduk tak jauh darinya itu bukan senior Gloria Qualfrey yang selama ini dikenalnya? —diculik alien kah dia? Tak ada yang tahu. Butiran chestnut yang bersorot ngantuk secara tak sengaja bergulir ketika tergelak, secara tak sengaja juga menyadari keberadaan kaki yang berdiri gugup di dekatnnya. Menengadah pelan-pelan, sesosok junior masih terdiam disitu, menunggu jalannya dibukankan. Zavala sama sekali lupa disebelahnya ada seorang gadis yang sedang menangis sesenggukan dengan gaya anak kecil akan kehilangan neneknya. Dan ngomong-ngomong lagi, coklatnya ditolak. Gila, Zavala baru tahu ada yang menolak coklat. Cuih, lupakan maag jelek yang mengganggu lambungnya; dihadapannya ada masalah yang sedikit lebih berat dibanding terus-menerus memikirkan penyakit kambuhan karena kurang makan itu—lagipula ada coklat. Meringis goblok; si bujang tanggung tadi tertawa ketika si junior dengan muka kusut rambut kusut dan ekspresi kusut sedang menangis bombay, tingkah laku jelek yang tidak pernah bisa copot dari susunan milyaran sel otak si bocah penyandang nama Casanova itu. Tatapannya beralih dari junior bombay itu kembali ke prefek baru ketika lantunan yang berarti 'dia ingin coklat' berbunyi dari mulut si senior. “Perih.”Lirihan kecil tertangkap gendang telinga Zavala ketika si gadis lewat—terlalu lirih; namun terdengar. Menghela nafas bersamaan dengan butiran chesnut yang berputar sinis, bujang tanggung itu menarik tangan si senior dan meletakkan sisa coklat—yang jelas masih banyak—yang dimakannya ketika menonton dua anak manusia berkromosom XX itu berdiam-diaman lalu yang lebih kecil kalah dan kabur—ngomong-ngomong sepertinya Zavala salah juga karena tertawa. Meninggalkan rasa bersalah dan membuat keinginan untuk menebusnya. "Semuanya untukmu. Hidup berjalan normal, ngomong-ngomong." Setelah menyerahkan coklatnya, Zavala berdiri, melangkahkan kaki-kaki jangkungnya menaiki tangga, mengejar langkah-langkah kecil yang sudah berlari menjauh, mengejar pemilik suara yang tadi melantunkan kata perih. Pandangan si bujang tanggung tertumbuk pada surai kecoklatan tak jauh di depannya, segera berlari mengejarnya; meraih tangan si gadis. Disini begonya seorang Zavala Casanova Artois, kan? "Kenapa menangis?" Pertanyaan bodoh. Sok perhatian. Tukang ikut campur. Silahkan maki Zavala. Sudah biasa.Labels: 1983, arcfond, artois, echo again, koridor dan tangga, qualfrey
| |
Yeah, say it. LAPAAAAR. Menyeret tubuh kurusnya keluar dari kelas Sejarah Sihir dengan ekspresi miris, Zavala mengacak belakang kepalanya pelan, menyesali kerajinan berlebihnya yang membawanya masuk ke kelas Sejarah Sihir sore itu—yang sebenarnya selalu dia skip dari tahun ke tahun, sehingga tidak tahu dan sedikit penasaran juga tentang kelas itu. Kelasnya supermembosankan to the extreme. Menahan pelupuk mata untuk terbuka saja sulitnya minta ampun; masih juga disuguhi rangkaian kronologi membosankan dari tahun ketahun dan dunia sihir jaman dulu—waktu sesepuh dan nenek moyang masih berbicara dengan bahasa 'huba-buba' dan memuja api dan bintang-bintang—sampai masa dimana si Grendelin atau siapa tadi namanya dibakar dan tertawa psycho. Sumpah deh, belajar di kelas itu menghabiskan energi dan membuat lapar. Setelah berhasil meminta sedikit makanan dari dapur, Zavala memutuskan untuk keluar, menikmati sentuhan musim gugur yang agaknya monoton sambil makan sandwich dan coklat dan jus labu botolan yang dia minta dengan segenap kemelasan yang bisa dipancarkan ke ratusan peri rumah yang malah dengan senang hati dan mata berbinar menyerahkan berbagai makanan yang mereka buat—OH, dunia itu baik, Tuhan itu baik, tapi nasib tidak begitu baik. Tanpa disadari Zavala, kakinya sepertinya sudah terpaku pada satu koordinat yang sama; danau, LAGI. Tempat dimana dia bertemu sahabat masa kecilnya yang sekarang sudah melanglang-buana entah di dunia mana; tempat para anak-anak Elang berbulu Gagak berkumpul dan ada dinosaurus keluar dari danau; juga tempat biadab yang membuat Zavala tenggelam dan berkutat dengan cumi-cumi raksasa di tengah peralihan musim Gugur ke musim dingin yang membuatnya radang paru-paru parah. Uwoh; rasanya seperti kehidupan Zavala berpusat di tempat itu, entah kenapa. Tapi sepertinya hari ini ceritanya melankolis. Menyadari sosok yang terduduk di pinggir danau; rambut oranye yang sama dengan milik yang mencercanya ketika Pesta Akhir Tahun Ajaran yang lalu—ah, orang yang sama, ngomong-ngomong. Oswald. Oswald perempuan. Zavala juga pernah melihat yang laki-laki; begitu mirip, warna rambut mereka dan lain-lain; namun sifat mereka bertolak belakang. Sangat. Yang satu sanguin, yang satu melankolis. Dan tampaknya si melankolis sudah meluncur jatuh sampai ke dasarnya sekarang, melihat keadaan si gadis minim ekspresi itu. "Disini sepi, kok. Kalau mau menangis, keluarkan saja. Aku temani." Tertegun sejenak sembari menelan ludah, Zavala serasa ingin menepuk jidatnya sendiri, meloncat ke dasar danau kalau perlu—yeah; baru saja Zavala mengatakan sesuatu tanpa menyadari artinya; sebut dia aneh, meracau tanpa tahu sebab-musabab tampang terlesu si gadis; pucat dan menyedihkan. Kurang makan? Banyak masalah? Tertekan karena banyak tugas? Dan lagi, apa-apaan pula dua kata terakhir itu; tampaknya... Janggal. Entahlah. Membuka bungkus coklat pertamanya sembari duduk disebelah si gadis, Zavala melempar potekan coklat ke dalam mulut—menunggu diusir dengan histeris oleh si gadis yang tampaknya masih sedikit jengah dan benci padanya karena satu dua masalah kecil yang diciptakan Zavala. Menunduk, Zavala menekuni potongan coklat selanjutnya, masih menunggu reaksi si gadis. Mungkin saja pergi meninggalkannya sendiri disini? Atau malah menampar? Atau menggulingkan ke danau? Yeah, rite. Labels: 1983, artois, danau, IH, oswald, puzzle-riddle
| |
|
Zavala Casanova Artois :)
21 November. / Murano, Venice, Italy. / Ordinary krispi Italian youngster.
Babu + seksi sibuk keluarga. Serbacoklat. Pelupa. Cuek. Pendiam?
Zavala Casanova Artois (c) Yama's brain (MEH!)
Potraited by Justin Chatwin (c) God.
Quotes taken from Last Night on Earth by Green Day (21st Century Breakdown)
|
A fragment of beauty below the moonlite. A sweet caress of camomile. A love.
A drop of melancholic mischief. A sister. A partner-in-crime.
|
| | |