1982; Rainbow Droplets
Chronos—kenapa disaat yang menyenangkan, dia melepas waktu begitu cepat, sehingga momen bahagia sang anak manusia menghilang begitu cepat?
Momen bahagia, eh? Mendengus pelan—sesosok bujang tanggung menertawakan pemikirannya sendiri. Oke, kalau boleh diakui—Zavala cukup bahagia ketika bertemu dengan gadis itu di tahun pertama di kastil tua itu. Dan Chronos merengut momen bahagia sesaat itu, dimana tangan kurus si bocah Italia itu menggenggam sebuah tangan kecil yang hangat—yang dimiliki seorang gadis yang dingin; sangat dingin. Suka? Well, mungkin perasaan itu pernah terlintas sesaat di bocah bujang labil itu—namun hanya sesaat, sepertinya—tidak lebih, tidak berlanjut; walau mungkin sedikit membekas. Atau mungkin gadis naif yang manis itu? Yang memiliki sesosok bodyguard posesif? Tidak. Nona serbagelap dengan boneka? Tidak juga. Atau... Sesosok senior cantik yang dulu menyiramnya? Not even in his wildest dream.
Helaan nafas terdengar lamat-lamat, terhela perlahan dari saluran penafasan si bocah Italia itu sementara berbagai pemikiran berputar di kepalanya. Menengadahkan leher kurusnya, kedua hazelnya memandangi hal yang tersaji dengan tatapan kosong. Langit biru yang menaungi tempatnya terdiam. Luas. Tidak berbatas. Tidak bergeming. Bertahta. Kesepian. Seulas senyuman penuh arti terlayang singkat pada langit biru berawan itu—yang tentu saja tidak bisa tersenyum balik pada si bujang tanggung—berlalu.
Entah berapa waktu yang dihabiskannya untuk terbengong kosong seperti itu—tapi harus diakui bahwa Zavala memang sering melakukannya. Dan dia cukup menyukainya—Zavala selalu suka momen ketika dia berdiam sendiri. Namun bukan berarti dia tidak suka berbicara dengan orang lain, tidak, Zavala cukup senang dengan keramaian juga. Namun momen kesendiriannya dengan alam memiliki arti tersendiri baginya.
Hhh, jadi melantur kemana-mana.
Zavala mengubah posisinya, menjauhi pohon berdaun kekuningan tempatnya berdiang—tanda musim gugur akan berlanjut—lalu berdiri memandang danau yang terhampar di hadapannya. Refleksi langit tertutur abstrak di kanvas besar bening itu—sejenak menipu kalbu. Seandainya refleksi danau itu menipu dan anak manusia melompat ke danau karena ingin menyentuh langit, apa yang akan terjadi? —dan lagi, adakah orang bodoh yang akan mengira danau adalah langit?
Sepasang kaki kurus terkoordinasi statis, melangkah mendekat bibir danau. Sesaat, Zavala merasa bahwa dia adalah si anak manusia bodoh yang akan melompat ke danau demi meraih sang langit—namun si anak manusia malah akan tenggelam, menjauhi langit, terseret langit semu; lalu mati.
—tidak terima kasih. Sesakitnya bujang tanggung itu, dia masih mau hidup.
Menelengkan kepalanya sejenak, si bocah Italia bertanya-tanya pada pemikirannya sendiri—apa sebenarnya tujuannya menghampiri danau itu? Menyentuh sang langit?
Mendesah pelan, Zavala terduduk tepat di tepi danau, bertelanjang kaki, membiarkan kesepuluh jari kaki dan kedua telapak kakinya mempermainkan unsur kehidupan yang penting itu. Kanvas bening itu. Menciptakan riak-riak dan cipratan kecil—menghancurkan imaji langit abstrak dari permukaannya—
—agar tidak ada lagi anak manusia yang terjebak imaji sesaat. Kekanakan?
Biarkan. Tawa berderai pelan dari bibir tipisnya, memandang refleksi dirinya sendiri di danau. Tertawa. Ekspresi yang selama ini selalu dirindukannya. Hazelnya berbinar riang, memandangi refleksi tipis spektrum tujuh warna yang mengambang tipis diatas permukaan danau—pantulan cipratan kaki kurusnya dan matahari musim semi.
Tidak kekanakan—dia juga masih anak-anak.
Labels: 1982, artois, IH, qualfrey

