1983; Remembering the Sky
Hah? Sudah malam lagi?
Sepasang bulir chesnut Zavala terkejap pelan, baru saja terjaga. Uh, sudah berapa kali bujang tanggung itu terus menerus terlelap di kursi yang sama di ruang rekreasi—seperti menunggu seseorang? Entahlah; yang jelas lebih dari satu. Dua? Empat? Sepuluh? Tangan kurus si bujang mengucek matanya, berusaha memfokuskan tatapannya yang berair, sementara tangan yang satu lagi menggaruk belakang kepalanya—hal yang lazim dilakukan orang yang baru bangun tidur, kok. —ya kan? Linglung, Zavala mengitarkan pandangannya; mencari jam yang entah terselip di sisi sebelah mana ruang berdominan biru itu—euh, nyaris tengah malam.
Jadi tidak bisa tidur lagi, kan?
Menelengkan kepala ke kiri dan ke kanan—yang menimbulkan bunyi 'kletek' kecil si setiap kontraksi antar-tulang; dilanjutkan jongkok berdiri sedikit—yang juga diiringi bunyi yang sama; Zavala lalu melangkah keluar dari ruangan itu, dengan harapan tidak ketahuan prefek dari negeri manapun yang mencegatnya di tengah jalan; well, Zavala butuh sedikit udara segar.
Tahu tidak? Suntuk bisa menyebabkan insomnia.
Langkah-langkah hati-hati tergores tanpa suara di lantai demi lantai sekolah tua bertitel Hogwarts yang sekarang menjadi tempat tinggal kedua Zavala; membawa tubuh kurus si bujang tanggung melewati tingkatan demi tingkatan menuju lantai dasar, diiringi bisikan lukisan yang belum tertidur malam itu; ada yang memperingatkan seperti: "Hati-hati, Filch baru lewat sini!"; atau bisikan penyemangat, "Ayo Nak, semangat. Hihi."; ada juga yang membentak; "Untuk apa kau keluar malam-malam begini, bocah?" dan beberapa kata lain yang hanya samar-samar terdengar oleh sistem pendengaran si bocah. Zavala merapatkan jaket putihnya ketika udara bergerak menelisik melalui pintu besar yang dibukanya; menimbulkan decit kecil pada baju-baju zirah yang terpampang rapi di sekitar Aula Depan—bulannya remang-remang.
Selain danau, bulan dan langit malam juga jadi sesuatu yang berharga bagi entitas penyandang nama tengah Casanova itu. Helaan nafas berkumandang kecil diantara sepinya halaman luas kastil tua itu, membungkus si bocah dalam kesunyian tersendiri. Bersama angin dan langit biru dan bulan yang sama setiap tahunnya, setiap bulan, minggu, bahkan harinya—yah, bulan kan memang hanya satu. Berusaha tidak menuju koordinat yang sudah begitu terpeta di pikirannya untuk merenung, Zavala berbelok ke arah yang berbeda, menjauhi danau—agaknya sesuatu yang berbeda itu cukup baik juga, kan? Jadi, kemana? Entah.
Sneakers putih Zavala berhenti bergerak, menatap gerbang besar di hadapannya. Pengalaman tidak enak berkelebat samar sejenak di hadapannya; kebodohan dan segala jerih payah sia-sia yang dikeluarkannya; titik-titik peluh yang berjatuhan ke tempatnya biasa berpijak; saksi bisu semua ketololannya di tahun kedua. Semuanya ada disitu—lapangan Quidditch. Tiga lingkaran tegak yang tampak megah dan congkak yang sama; yang pernah gagal dijaganya. Menelan ludah, Zavala membuka pintu itu, melangkah masuk; nyaris ragu.
Dan sudah ada dua anak manusia disitu.
Samar-samar bocah Italia itu mendengar perdebatan lirih mereka soal langit; warnanya yang tidak ada; yah, entahlah—mungkin salah dengar, lagipula jarak Zavala dengan dua orang yang tampaknya juniornya itu cukup jauh. Sedikit tertarik, bujang tanggung itu meninggalkan tempatnya semula, beringsut mendekati kedua sejoli yang sedang berdiam diri dibawah langit; memperdebatkan pendapat masing-masing, eh?
"Langitnya warna biru kok—biru donker."
Lantunan serak basah melankolis menyeruak diantara kesunyian; memberi retakan kecil diantara batas kesunyian itu—sebentar lagi tampaknya akan pecah, mungkin. Mengangkat bahu dalam hati, Zavala mendongak menatap langit—langit yang dia percayai selalu biru; yang terkadang terlalu pekat sehingga dianggap warna lain oleh orang lain—hitam, misalnya. Dulu kata Vien, langit warna hitam karena dia menyimpan kesedihan. Lalu kalau gelap langit akan menangis. Tapi yang hitam bukan langit; kata Nenek langit biru dan Zavala percaya—mau percaya itu. Yang hitam itu awannya, kan?
Ngomong-ngomong, kenapa Zavala seperti penggangu disini?
Labels: 1983, artois, bellamont, IH, remembering the sky, windstroke

