[Fic] Memento Mori - Part 1
"Zavalaaaaa!” teriakan familiar berkumandang di sepanjang lorong, membuatku merapatkan selimutku lebih rapat lagi—aku pasti tampak seperti kepompong gagal sekarang. Detik berikutnya, pintu hitam yang menjadi satu-satunya jalan masuk dan keluar dari ruangan persegi berantakan yang sudah kutempati seumur hidupku menjeblak terbuka, menampakkan sesosok gadis berambut pirang—Vienn; penampilannya sungguh membuatku tercengang beberapa bulan lalu ketika aku pulang ke rumah setelah menamatkan pendidikanku di sekolah itu. Yeah; dia mengecat rambut panjang burgundinya menjadi pirang, the hell—tampak sedikit lebih feminim, memang, tapi tidak dengan tingkat kebengisannya.
“BANGUN!” tendangan keras terlayang ke punggungku, membuatku dengan pasrah terdorong jatuh, berbenturan dengan lantai yang keras dan dingin. Cih, barbar. Aku tidak percaya setelah tujuh tahun aku pergi dari rumah, aku akhirnya merasakan rutinitas yang sama seperti sebelum surat dari sekolah itu datang dan mengantarkanku pada rangkaian peristiwa-peristiwa yang belum pernah kurasakan di sekolah biasa. Yeah, sekolah itu memang sekolah yang berbeda dengan sekolah tempat aku belajar dulu sekali. Hogwarts.
“HEEEEEEEEI!” jitakan terlayang ganas ke kepalaku, membuatku tersadar dari lamunanku, “Kata Mom hari ini kau akan ke London?! Kenapa masih bengong saja, sih? Cepat dong siap-siaaaap!” rentetan omelan berkoar dari bibir Vienn, membuatku sedikit bingung. Kupandangi kalender dengan tampang bingung, ingin memastikan tanggal hari ini—entah kenapa hari berjalan cepat akhir-akhir ini; mungkin karena sudah tidak ada yang aku tunggu lagi, hm? Benar saja kata Vienn. 30 Agustus. Tanggal keberangkatan yang tertera di tiket yang tersimpan rapi di tas postman bag-ku. “Masih bengong jugaaa?! Ayo cepat siap-siap! Jangan sampai ketinggalan pesawat. Kau pikir tiket pesawat murah?” bentakan lagi, dan aku langsung ngacir ke kamar mandi—sebelum ada apapun yang menjitak atau bahkan membunuhku karena aku terlihat lambat di mata Vienn.
***
Ah ya—aku sebenarnya bertanya-tanya pada diriku sendiri kenapa aku memilih untuk naik pesawat saja dan bukannya ber-apparate, padahal aku sudah cukup menguasai skill itu sekarang dan tidak meninggalkan satu bola mata atau kaki kiriku di tempat asalnya. Semua salah Mom, ngomong-ngomong, yang tidak mengijinkan anak ketiganya untuk ber-apparate karena rasa takutnya setelah Dad bercerita tentang kasus-kasus menyedihkan yang terjadi saat apparate. Jadi ini juga salah Dad. Aku menghela nafas malas, sekali lagi memandang refleksiku di cermin. Masih sama seperti setahun lalu—rambut coklat jabrik, mata coklat dengan tatapan tajam malas, dan bibir tipis serta kulit kecoklatan. Masih kurus dan bertampang menyedihkan. Sekali lagi mencoba menyisir rambut pendek kecoklatan yang tidak bisa diatur itu sampai akhirnya menyerah, aku melempar sisir kembali ke tempatnya, segera keluar dari kamar mandi. Jam 9.
Menyambar postman bag dekil yang sudah kupakai selama lebih dari tujuh tahun, aku segera melangkah keluar kamar; antara sedikit terburu-buru dan tidak mau disepak olehVienn. Dia selalu tepat waktu dan rapi, dan sepertinya malu karena aku yang notabene adiknya itu dekil, berantakan dan jam karet.
“Pagi semua…” ujarku malas, memandang singkat satu-persatu entitas yang ada di ruang makan. Dad dengan Daily Prophet-nya, Mom dengan tumpukan majalah fashionnya, Vienn dengan telepon di salah satu dinding ruang makan, Nate dengan peralatan dapurnya. Sebuah sengiran terpeta di bibirku—pagi yang biasa. Dad mengangkat kepalanya dari korannya, mengangguk lalu kembali berpaling, menekuni koran yang bergerak-gerak itu. Mom tersenyum dan melambaikan tangannya, Vienn hanya memandang sejenak lalu kembali bercuap-cuap di telepon, pintu dapur menjeblak terbuka dengan Nate dan piring-piring yang menguarkan wangi enak. Aku melangkah masuk, lalu langsung mendudukan diriku di kursi yang masih kosong, menatap piring dengan sosis dan garlic bread diatasnya—pfft, setelah sekian tahun, Nate sudah berhasil mewarisi keterampilan memasak Nenek, hm?
“Hari ini pesawatmu berangkat jam berapa, boy?” suara berat membuka percakapan, membuat tatapanku teralih dari sarapanku; alisku terangkat sedikit, nyaris tidak percaya Dad bertanya hal yang menurutku tidak penting untuknya. Tumben.
“13.00,” jawabku singkat, lalu mulai menusuk-nusuk garlic bread buatan Nate, memasukkan ke mulut, mengunyah, menelan. “Kenapa?”
“Dad antar, ya?”
“Ha?”
***
“Hati-hati dijalan, mio caro!” Mom melambai-lambai ke arahku, sedikit sesenggukan, pffft, seakan-akan aku akan mati besok saja. Aku berpaling menatapnya, menyunggingkan sebentuk senyum; semoga bisa memenangkan hatinya, batinku. Sejak aku kabur dari rumah dulu, Mom memang jadi sering lebay terhadapku. Aku sempat mengerling melihat Dad yang hanya terdiam, bersender di tembok ruang tunggu sementara aku berbalik untuk melanjutkan langkahku; tepat ketika seruan familiar kembali terdengar.
“Cepat pulang ya kaaak!”
“Hati-hati di jalan, dekil. Jangan bikin malu!”
Okeee, kenapa semua terdengar berkata seakan aku akan mati besok, ha? Mengangkat bahu tidak kentara, aku mengangkat tanganku, mengacungkan jempol pada kedua saudara sedarahku itu sembari melanjutkan langkah yang sempat terhenti tadi. Pada akhirnya semua berebut mengantarku ke bandara, sampai akhirnya Dad memutuskan semuanya ikut pergi, astaga.
Setidaknya aku tahu mereka sayang padaku.
***
“Hei, kakak;” Aku meletakkan sepiring bacon dan kentang goreng di hadapan seorang gadis yang usianya terpaut sekitar setahun diatasku, lalu duduk dihadapannya, “Lama tidak ketemu, eh?” imbuhku, mencomot satu bacon dari piring. Rasanya memang janggal memanggilnya kakak; tapi well, kakaknya memang kakak iparku alias suami kakakku—yeah, sebenarnya aku juga masih heran pada kakak tertuaku; pertamanya aku menganggapnya mati karena kejadian tolol dulu sekali, namun tiba-tiba dia kembali begitu saja, sudah punya calon istri, pula—yeah, Gretha Qualfrey. Dan secara teknis, adiknya, Gloria Qualfrey, adalah kakakku juga.
“Yeah, kabarmu baik?”
“Cukup baik. Sendirinya?”
“So-so. Kau tidak bohong lagi, kan?”
Aku tergelak. Cih, rupanya dia masih ingat kejadian di tangga beberapa tahun lalu itu. Terkadang mantan prefek Ravenclaw dihadapannya itu memang bisa membaca jalan pikiran atau keadaan orang lain, mungkin?
“Tentu tidak.”
“Ehm, bagaimana dengan… Siapa namanya? Agatheness?”
“Biasa saja. Maunya sih nanti siang ke King Cross untuk mengantarnya.”
Yeah, tujuan utamaku ke London memang itu. Selain untuk temu kangen dengan beberapa rekan lama dan bernostalgia—cih, padahal baru tiga bulan, namun rasanya ingin sekali kembali ke sekolah itu dan belajar lagi; jujur saja, aku masih cinta mati dengan Danau Hitam yang entah kenapa selalu menjadi tempat terbaik di sekolah itu, atau ruang rekreasi dengan bulan purnama, atau Pesta Akhir Tahun dengan segala kegilaannya—sesuatu yang pantas dirindukan, sungguh.
Ah, kamomil. Aku tidak pernah bisa berhenti jatuh cinta padanya.
***
Ah ya, selamat datang di King Cross. Aku mengerling sejenak ke jam besar yang terpampang di salah satu pilar tua stasiun itu—sedikit lagi fragmen kenangan lewat di depan mataku, menampilkan grayscale film kilat yang menampilkan aku-versi-bocah yang sedang mendorong troli yang berisi koper besar, berlali seakan dikejar setan, berkali-kali menatap jam yang sama, memastikan aku tidak terlambat naik kereta karena kebiasaan burukku. Aku yakin Vienn akan memaki-maki dengan semangat jika dia tahu bahwa kejadian seperti itu pernah terjadi.
“A—Artois…” sebuah lirihan terlantun disebelahku, membuatku tersadar dari lamunan panjang tentang masa lalu yang konyol itu. Suara yang familiar, wangi yang familiar, sosok yang sangat familiar. Ylva Agatheness—yeah, kamomil yang entah kenapa kucintai setengah mati. Aku melirik malas ke sampingnya, mendapati sesosok bodyguard yang pernah mendeklarasikan bahwa dia akan menjaga Agatheness selamanya itu berdiri kaku dengan angkuh di samping si kamomil, menatap dengan tatapan galak penuh selidik ke arahku. Yep, dia-yang-namanya-sering-terlirih-dari-bibir-Agatheness. Bikin iri, memang. Tapi apalah arti seorang Zavala Artois dibandingkan dengan Salisverre Gilchrist?
“Yo, Agatheness;” ujarku, berusaha memasang sengiran setulus mungkin, berusaha mengacuhkan si Gilchrist itu, “Apa kabar kalian, junior?”
Euh, rasanya sekarang junior tidak enak diucapkan, setelah beberapa bulan lalu kau resmi lulus dari sekolah itu, rasanya tidak enak masih memanggil kenalan yang masih bersekolah disana dengan sebutan junior. Dan dipanggil senior, err?
“Baik, se—sendirinya?”
“Cukup baik.”
Lalu diam lagi, selalu begitu.
“Well, kita ke peron 9 ¾ saja.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku memasukkan tangan ke saku celana jeansku, lalu melangkah di depan kedua orang yang berjalan berdampingnya menyusulku—yaah, cinta bertepuk sebelah tangan memang menyedihkan. Aku menatap satu-persatu plang peron, mencari yang bernomor sembilan, lalu tanpa basa-basi melangkah menembus pilar antara peron sembilan dan sepuluh. Ah, rasanya sedikit janggal kalau tidak membawa troli besar seperti dulu, ya? Aku mengerling sejenak ke belakang, memastikan dua junior itu masih ada dibelakangku—ah, tidak; lebih tepat dibilang ingin melihat Agatheness.
Keramaian yang sama. Sepilas-sepilas wajah familiar. Mereka yang pernah disebut junior.
“Senior Artoiiiiiss!”
Ah, ya, saya?
Mencari-cari asal suara dengan tampang cengo—hella good, ada juga yang tahu dan mengenalku bahkan memanggil disini; kupikir semuanya sudah lupa. Tiga bulan itu lumayan panjang untuk melupakan orang yang hanya kau kenal-sambil-lalu, toh? Er, tapi pemilik suara cempreng itu bukan seorang kenalan-sambil-lalu, sih. Yeah, Shine Snowden. Teman seasrama, teman setim, bekas junior.
“Yoo, Snowden;” Aku menepuk kepalanya pelan ketika dia berlari menghampiriku dan menubrukku dengan semangat. Salah satu chaser terbaik Ravenclaw, selain dua entitas yang tidak kalah keren itu; aku akan menceritakan mereka nanti.
Dan lihat siapa disana. Thanatos. Harue. Windstroke—tidak lupa Ragnavald disampingnya. Swan. Hylhymn, Yaroslav. —mantan junior, banyak mantan junior, sangat banyak mantan junior. Mayoritas memang tidak begitu kukenal, namun beberapa nama yang sudah terlintas dipikiranku tadi bisa dibilang teman; setidaknya derajatnya satu tingkat diatas mereka yang hanya bisa disebut kenalan, no?
Sebentuk senyum tersungging ketika dia menghampiri mereka—Thanatos, Harue dan Swan yang sedang asyik berbicara soal Quidditch; mereka berdua Chaser yang hebat, sangat malahan, Thanatos dan Harue itu. Sejak mereka masuk tim, semangat tim yang dulunya leye-leye jadi terdongkrak, natural born chaser, suer deh. Swan juga beater yang keren. Windstroke si gagu dengan Ragnavald sedang berdiri agak kepojok, bergandengan tangan dengan mesra—ciakaka, aku cukup yakin Ragnavald akan merindukan Windstroke selama setahunan ini. Hylhymn dengan urusannya sendiri sempat melambai sejenak padaku, menanyakan kabarku namun sudah terseret pergi sebelum aku berhasil meresponnya. Yaroslav hanya diam, ketika aku melempar seulas senyum padanya—dia… Yang jantungnya milik Gevanni, kan? Yah, senior keren itu punya tempat di memorinya juga.
“Ahoy, chaser keren masa depan…” celetukku, merangkul Thanatos dan Harue, “Bagaimana? Quidditch masih seru?” imbuhku, mengingat selama setengah tahun belakangan aku sama sekali tidak tahu apa yang terjadi di lapangan karena penyakitku kambuh dan kembali terbaring di Hospital Wing dengan iring-iringan ceramahan Madam Pomfrey. Aku sama sekali tidak bertemu mereka begitu lulus; seakan hilang saja.
“Seru banget, senior.”
“Thanatos mainnya bagus! Memang dari dulu, sih.”
“Harue juga jago.”
“Sudahlah—kalian berdua keren, sungguh.”
Aku mengacak rambut mereka pelan—memang tindakan yang kurang pantas mengingat mereka sudah menjejak umur 16 tahun; peduli amat, buatku mereka masih bocah kecil yang sama, haha.
“Kau juga, Snowden,” imbuhku, menepuk puncak kepalanya sekali lagi.
Aku menghela nafas ketika pandanganku teralih ke kereta merah yang sedang berdiri kaku di relnya, mengepulkan asap. Hm… Kereta tua yang sama; Zavala masih hafal jelas letaknya, gerbong dua kompartemen delapan. Ah ya, mereka semua. Gevanni, Winter, Sieghart adegan sinetron Lapin dan Heigl—pokoknya ramai—ada dementor, death eaters dan semuanya. Terkadang aku masih bersyukur masih bernafas sekarang ini.
“Nah, nah, sudah mau jam sebelas. Sana semuanya naik kereta.” ujarku tanggung, nyaris tidak rela untuk melangkah keluar stasiun dan bukannya naik ke kereta itu dan pergi ke Hogwarts lagi—padahal tempat itu sebegitu menyenangkan; tujuh tahun yang keren. Penuh memori, terekam dalam setiap batu yang membangun tembok dan lantai sekolah itu, tangga-tangga penuh misteri, tetesan air hujan, danau, bahkan toilet; asrama biru dengan lambang elang setengah gagak.
Sekali lagi tersenyum pada mereka, aku melangkah mundur, termangu. Dan keretanya berangkat begitu saja; para ibu-ibu menangis haru mengantarkan anak-anak mereka, melambai-lambai, mengiringi anaknya yang melangkah menjauh dengan bisikan-bisikan doa. Ah, semoga mereka beruntung tahun ini—semuanya.
***
“Oke, aku pulang dulu, kak;”
“Hati-hati di jalan.”
Nyengir kecil pada partner-in-crime semasa sekolah merangkap saudara jauhku, aku mengayunkan kaki malas, nyaris tidak ingin pergi. Tahun depan harus kesini lagi; aku mengucapkan janji pada diriku sendiri.
“Dah.”
***
“Penumpang, ini kapten berbicara. Sisi kapal kita tertabrak benda asing dan kita harus melakukan pendaratan darurat.”
Bzz.
Kepalaku berputar-putar, sungguh. Aku menutup mata, mencoba mengabaikan guncangan tidak enak yang membuat sekujur tubuhku sakit, perutku mual, ah, pokoknya amat sangat tidak enak, tch.
“Pe… bzzzt… pang… Ha… bzzt…p…”
Aku tidak bisa mengingat apapun. Sumpah, seluruh tubuhku mati rasa. Aku merasa akan mati sebentar lagi. Pesawat itu menukik ke bawah, membuatku terhempas ke belakang.
BRAK!
***
"747-200 Alitalia Airlines dari Inggris dengan tujuan Venezia jatuh, bangkai pesawat belum ditemukan; dipastikan semua penumpang meninggal."
Labels: agatheness, artois, death, fic, memories, qualfrey, ravenclaw

