[Fic] Memento Mori - Part 2; Fa's PoV
Katanya, Tuan Zavala mati.
Tatapanku mendongak kosong ke makam yang terpasang kokoh di depanku, sedikit miris melihat nama majikanku terpahat di nisan kelabu—Zavala Casanova Artois, begitu bunyi tulisannya. Hidupnya memang pendek, tuanku itu, namun aku cukup tahu dalam jangka waktu sependek itu dia memiliki banyak hal istimewa—semua orang yang berlalu-lalang disekitar makam ini sejak tadi membuatku bergidik. Semuanya berbaju hitam dan menangisi kepergian tuanku itu; bahkan ada yang terdiam lama dan berbicara sembari memandang langit, berusaha kuat menahan air mata yang sudah sampai di batas pelupuknya, belum lagi memaksa untuk tersenyum timpang.
Ah, tuan; kau bahkan belum menginjak usia 18 tahun.
Aku menoleh dengan rasa penasaran ketika dua orang ibu-ibu sedang berbisik di dekat makam—cukup familiar; mungkin itu teman-teman ibunya tuan Zavala yang secara rutin datang ke rumah untuk mengocok sesuatu dan makan-makan. Haiyah, kalau kalian berbisik bukan berarti semuanya tidak mendengar, nyonya; aku cukup peka untuk mendengar apa yang kalian bicarakan. Dasar ibu-ibu memang tukang cari sensasi—batinku terbeliak ketika mengetahui mereka membicarakan tuanku yang bahkan sudah tidak bernafas lagi. Burung besi sialan itu merengutnya, menenggelamkannya ke kanvas aquamarine transparan, tempat mayatnya beristirahat jauh di laut sana—aku berjanji suatu hari aku akan mencari si burung jelek itu dan mencabiknya. Brengsek.
Aku naik ke atas gundukan tanah makam yang masih segar, mengacak taburan bunga yang masih basah diatasnya. Tidak ada tubuh tuan Zavala disini; untuk apa mereka menangisinya disini dan bukannya mencari tubuh tuanku, para manusia aneh itu. Bahkan ada beberapa orang yang pergi dari London untuk menghadiri misa requiem-nya. Padahalkan dia tidak ada disini.
“Fa?” lirihan kecil memanggilku; suara Vienna. Aku menoleh; matanya sembab dan gaun hitam yang begitu cocok dilekuk tubuhnya begitu lecek—seumur-umur, baru kali ini aku melihat penampilan Vienn dekil, sungguh. Dia selalu tampak cantik dari waktu-ke-waktu, perfeksionis. Bahkan rambut pirangnya—dulu warnanya burgundi dan dia mengecatnya—terurai berantakan, tidak terikat rapi. “Ayo pulang…”
Sebelum berhasil kabur, dia sudah menarikku dalam dekapannya, butiran chesnutnya memandang makam tuanku sendu sekali lagi, lalu berbalik, kembali menahan air mata agar tidak mengalir ke pipinya. Kugesekkan kepala pelan ke dagunya, lalu mengeong sekali. Oh well, aku tidak yakin sih dia mengerti maksudku, namun melihatnya tersenyum kecil pun aku merasa sedikit lega.
***
Tap.
Empat kaki putihku mendarat luwes di bebatuan kusam. Tepat di depan nisan yang sama, masih milik tuanku. Sejujurnya aku tidak rela dia mati secepat ini—hei, hanya dia yang cukup mengerti jalan pikiranku. Satu-satunya manusia yang secara garis besar mengerti apa yang ingin kukatakan walau hanya dari dengkuran atau suara ‘meong’ yang sebenarnya aku benci. Betapa curangnya Dia-Yang-Maha-Sempurna, menciptakanku hanya dengan suara dengkuran dan ‘meong’ yang terkadang membuat aku diusir dari satu tempat karena dianggap mengganggu, sementara manusia dengan asyik bisa berbicara lancar dan luwes dengan lidah mereka yang standar. Suara mereka pun bagus, aku pernah mendengar sekumpulan manusia bernyanyi ketika aku melewati bangunan putih yang sederhana namun terlihat megah dan aura menenangkan—namanya gereja, kalau tidak salah ingat. Tapi aku bersyukur tuan Zavala pernah ada.
Walaupun begitu cepat dia diambil kembali, tiga tahun bersamanya sangat menyenangkan.
Aku kembali memanjat ke atas makam, lalu merebahkan tubuhku diatas gundukan tanah yang menutup makam semu milik tuanku itu. Yang dikuburkan di dalamnya hanya kalung yang dulu sering dipakainya. Entah dia sudah tahu bahwa dia akan menghilang dan meninggalkannya sebagai penanda, ataukah karena kalung itu tidak dipakainya, rantai kehidupannya putus tepat diatas laut yang menjadi tempat peristirahatan abadinya?
Memusingkan. Seekor kucing sepertiku sepertinya tidak pantas berpikir secara logika layaknya manusia. Aku menguap kecil, merenggangkan tubuhku, lalu tertidur di tanah empuk itu. Aih, jarakku dengan penanda terakhir tuanku tak lebih dari tiga meter.
***
Hujan.
Sudah 40 hari terhitung dari tanggal 1 September—tanggal dimana tuan Zavala dinyatakan mati, dan langit sekarang menangisi tanggal dimana arwah tuanku itu sedang melanjutkan langkahnya dari dunia ke tempat yang lebih baik diatas sana. Tempat Dia-Yang-Maha-Sempurna berdiam, istananya sementara kotanya begitu besar terbentang di Bumi buatannya. Aku menggerakan tubuhku, mengibaskan bulu putih dengan aksen oranye yang sudah mulai lepek dan saling menempel karena tangisan langit yang tidak berhenti menyapa tanah semenjak tadi. Semua manusia yang 40 hari yang lalu datang ke makam tuanku sedang mengadakan misa di kapel yang ada di komplek pemakaman ini, sementara aku sendirian duduk disini—di muka makamnya yang sudah basah.
“Tuan, aku kangen.” namun hanya suara ‘meong’ lirih yang keluar, miris.
“Vienna selalu menangisimu sepanjang malam dan Nathan tidak pernah memasak lagi.”
Aku terdiam, merutuki diriku sendiri yang tidak bisa berbicara.
“Ayah mati. Beberapa hari kemudian ibu menyusul. Disana ada Surga untuk kucing tidak?”
Beberapa tetes hujan jatuh dipelupuk mataku, mengalir ke bawah dengan cepat, terserap buluku beberapa detik kemudian.
“Fa?”
Serak basah yang familiar terdengar, lirih dan miris. Aish, delusi. Aku cukup yakin itu suara tuan Zavala, tapi dia kan sudah mati. Aku mendongak memandang nisannya, entah kenapa sedikit berharap tulisan itu luntur ataupun tidak pernah ada. Aku terbelalak ketika melihat sebentuk bayangan nyaris tembus pandang terpampang di hadapanku, terduduk di atas nisan dengan sengiran terpatri di wajahnya. Familiar.
Tuan Zavala.
“Hei, ini makamku, ya?” dia tergelak, menunjuk makamnya sendiri. “Rasanya aneh melihat makam ini, sungguh. Tidak percaya rasanya aku sudah mati.”
“Konyol.”
“Ahaha, aku tahu konyol, Fa. Tapi entah kenapa selama 40 hari ini aku merasakan secercah cahaya bahwa aku masih hidup.”
Ah, brengsek. Arwah tuanku yang masih gentayangan tiba-tiba datang dan bilang bahwa setengah dari dirinya masih hidup. Goblok. Kenapa harus bilang begitu? Itu hanya membangkitkan harapan kosong bahwa dia masih bisa ada disampingku lagi. Sial.
“Ngomong-ngomong, itu…” dia menunjuk kapel, “Sedang ada misa?”
“Untukmu.”
Dia terdiam, memandang kosong ke arah kapel itu dengan tatapan sedikit miris. Beberapa detik kemudian pintunya menjeblak terbuka, dan kerumunan orang berbaju hitam melangkah keluar satu-persatu. Payung-payung terkembang beberapa detik kemudian, berusaha menepis tangisan si langit yang tak kunjung reda.
“Ups, aku harus pergi, Fa. Dadah.”
“…”
Yeah, dah, tuan. Sampai bertemu lagi.
Beberapa detik kemudian, tangisan langit mereda perlahan, menampakkan sedikit sinar matahari dibalik awan bekas hujan. Dan sebentuk lengkungan spektrum tujuh warna terbentuk disana. Ah ya, dan langit pun tersenyum mengantarnya.
Labels: artois, death, fa, fic

