[Fic] Memento Mori - Part 3; The End.
Basah.
Aku mengerjapkan mata sekali, pandanganku terlalu samar untuk menyadari aku sedang ada dimana. Yang jelas, tempat itu basah, amat basah, dan untuk bernafas pun sangat sesak luar biasa. Aku menutup mata sekali lagi ketika gelembung oksigen terakhir terlepas dari mulutku, dan seketika kelopak mataku terasa berat untuk kembali membuka. Cahaya samar terlintas di depanku, lalu semua gelap dalam hitungan sepersekian detik.
***
“Kau… Tidak apa-apa?”
“Tidak terlalu sulit, kan?”
“Tante? Sejak kapan umurku berubah sehingga bisa disebut tante, tuan muda?”
“Kau lagi?!”
“Terima kasih.”
“Apa yang sedang kalian lakukan di sini?"
“Come on, it’s just a game.”
“Tidak apa Artois, permainanmu cukup bagus. Kau hanya perlu lebih banyak latihan, oke?”
“Pulanglah, nak. Nenek merindukanmu.”
"De—demi peri pohon oak, kau sudah gila, Zaval—rrr?"
“Za—Zavala?”
“Kakak pulang!”
"Bakat menggoda perempuan polos."
“HEH!”
“Maaf.”
“A-aku— …tidak bisa.”
“Senior Artoiiiiiiis!”
***
Tiba-tiba semuanya terasa sangat ringan.
Semuanya tampak kabur pada awalnya, dan sinar matahari terlalu silau untukku. Kukerjapkan mata sekali, kemudian mengangkat lengan untuk menghalangi sinar matahari yang menghujam mata. Sisa-sisa pusing masih membekas di kepala, apalagi akibat benturan terakhir ketika pesawatnya menukik nista langsung menuju lautan lepas. Agaknya pesawat itu langsung menabrak batu karang besar, lalu setelah itu guncangan, samar, bau anyir menguar disekitar, darah mengucur, lalu… Gelap?
Tunggu.
Aku mengganti posisiku yang sedari tadi terlentang pasrah, duduk bersila, lalu memandang keadaan disekelilingku. Err… Aku tidak tahu pasti dimana posisiku sekarang—aku buta arah, masih seperti dulu—dan tempatnya sangat asing. Aku mengangkat alis, kemudian memandang telapak tanganku; hei, aku bersumpah dapat melihat kakiku yang bersila samar-samar melalui telapak tangan, dan hamparan pasir dibalik kakiku juga terlihat samar—gila. Aku terbelalak, nyaris tidak percaya, aku mengucek mata pelan, lalu kembali memandang kakiku. Sama saja.
Aku panik sekarang.
Menelan ludah, aku segera berlari ke garis pantai, membuka mata selebar mungkin, mencari refleksiku di permukaan kanvas aquamarine bening yang terhampar luas itu. Tidak ada. Aku memandang kebelakang, mencari sebentuk bayangan gelap yang selama ini setia menempeliku. Tidak ada juga. Err, artinya?
—aku mati. Ha?
Dan tiba-tiba serombongan orang melewatiku sembari tertawa-tawa—menembusku begitu saja. Aku berusaha menarik nafas, namun dadaku sakit. Dingin.
Aku takut. Sangat takut.
***
"747-200 Alitalia Airlines dari Inggris dengan tujuan Venezia jatuh, bangkai pesawat belum ditemukan; dipastikan semua penumpang meninggal."
Aku memandang tanpa nafsu headline koran yang terpampang di salah satu stand loper koran yang kulewati; betapa mirisnya—aku sedang gentayangan, jadi arwah penasaran gara-gara pesawat tolol itu ditabrak benda-tak-dikenal lalu dengan kerennya bermanuver, menabrak batu karang, dan aku melihat headline koran dimana dalam peristiwa itu aku mati. Rasanya lebih sakit dibanding setelah peristiwa kelabu dulu, sungguh. Aku pernah nyaris mati dua kali dan sekarang sudah mati, setelah percobaan ketiga. Yeah, aku memang bukan kucing yang konon memiliki sembilan nyawa. Punya dua nyawa ekstra saja seharusnya aku sudah bersyukur.
Sekarang… Aku harusnya kemana, ya?
Merutuk dalam hati, aku menggaruk belakang kepalaku, sementara dalam kepalaku muncul macam-macam ekspektasi aneh—misalnya sebenarnya aku masih gentayangan karena aku ditendang lagi dari Surga karena tidak pantas disana, lalu aku juga tidak diterima Neraka karena aku tidak begitu jahat; atau sebenarnya aku masih diberi kesempatan hidup dan tubuhku masih tergeletak entah dimana, tertidur agak panjang, menungguku yang sedang jalan-jalan ini pulang.
Aku sih berharap yang kedua.
Menghela nafas—err, aku sih maunya begitu, tapi berhubung tidak bisa, ya…—aku berusaha menendang kaleng coca-cola, yang tentu saja tidak berhasil, kalengnya malah melewati kakiku begitu saja—tembus. Tsche. Rupanya banyak hal yang tidak bisa dilakukan oleh hantu, no? Terkadang menyebalkan ketika ingin melakukan sesuatu untuk melampiaskan emosi yang tertumpuk di kepala tapi tidak bisa karena tembus begitu saja; tapi enaknya, aku bisa berlenggang kakung seenak jidat seakan jalanan semuanya milik nenek moyangku tanpa peduli apapun—toh kau tidak kelihatan dan tidak bisa disentuh; tidak bisa menabrak orang, tidak bisa tertabrak mobil, juga tidak terlihat ketika melakukan hal memalukan.
Tapi disisi lain, mati itu terasa… Hampa.
Mobil-mobil dengan bendera dukacita melintas di depanku, menampakkan sekelebat wajah yang kukenal.
Kalian apa kabar?
***
Kotak kecil diletakkan, dikubur dalam tanah, lalu sebentuk nisan dipasang begitu saja. Namanya terbaca jelas dari tempatku berdiam sekarang—Zavala Casanova Artois—yeah, namaku. Sedikit sesak juga ketika melihat yang dikuburkan hanya sebentuk kalung yang dulu sering kupakai—semacam kalung keberuntungan—yang tanpa sengaja kutinggalkan di rumah alih-alih tubuhku. Yeah, memang letak mayatku itu entah ada dimana di sudut Bumi ini, kompleks perumahan milik Tuhan terlalu luas, Bumi ini. Mayatku bisa saja sudah tersangkut di karang atau sedang terbawa arus ke Australia. Pfft.
Aku terduduk di bawah pohon, mengawasi daerah sekitar makam yang berangsur-angsur sepi, hingga yang tersisa hanya sebentuk eksistensi seekor kucing—Fa, seekor peliharaan terbaik sedunia setelah Sox—memandangi nisanku dengan ekspresi tak tertebak. Beberapa menit kemudian Vienna membawanya pergi begitu saja. Sebentuk senyum terpaksa terbentuk di wajahku, antara ingin menertawakan penampilannya yang berantakan saat itu atau terharu karena dia menangis sepanjang waktu. Menangisi sak tinjunya selama ini.
Bercanda. Aku tahu sebenarnya dia sayang padaku.
***
“Papa, Papa! Coba lihat ini!”
“Astaganaga, Chester! Dimana kau menemukannya?”
“Itu Papa, ada seseorang yang tergeletak disitu!”
“Hm?”
“Dia kenapa Papa? Apa dia sudah mati?”
“Tubuhnya masih hangat, Gwynne; dan sepertinya masih bernafas. Coba minta Mama panggilkan ambulans.”
“Astaga, Edward! Anak siapa itu?”
“Sudahlah Jane. Panggil ambulans dulu.”
***
“Fa?”
Aku menunduk, menatap kucing putih dengan aksen oranye yang sedang menggeliat diatas tanah makam, yang tadi sempat berbicara miris dengan menyebutkan namaku. Hell yeah, aku merasa punya hubungan batin dengan anak Sox ini. Dan tadi apa? Dia bilang Sox mati?
“Hei, ini makamku, ya?” aku tergelak, berusaha memecahkan keheningan janggal diantara kami. Dia tampak kaget aku—dalam bentuk arwah yang setengah mengapung—ada dihadapannya, sepertinya; “Rasanya aneh melihat makam ini, sungguh. Tidak percaya rasanya aku sudah mati.”
“Konyol.”
“Ahaha, aku tahu konyol, Fa. Tapi entah kenapa selama 40 hari ini aku merasakan secercah cahaya bahwa aku masih hidup.”
Hmmph, aku pasti terdengar konyol.
“Ngomong-ngomong, itu…” aku mengerling singkat ke arah kapel yang tidak begitu jauh dari makam yang sedang aku duduki, menunjukkan tanpa antusiasme, “Sedang ada misa?”
“Untukmu.”
Err, sudah 40 hari semenjak aku pergi, no? Tadi hanya estimasi saat aku bicara pada Fa. Selama luntang-lantung dalam bentuk arwah, aku sama sekali tidak tahu tanggal dan waktu, jujur saja. Aku menutup mata pelan, samar-samar menangkap nyanyian sakral dengan nada mendayu menyayat hati berkumandang dari bangunan itu, terdengar cocok dengan rintik hujan yang sedari tadi tidak mereda. Beberapa menit kemudian lagunya berhenti, pintu terbuka dan payung terkembang.
“Ups, aku harus pergi, Fa. Dadah.”
***
Sekali lagi, mataku terbuka di tempat yang tidak dikenal.
“Papa! Dia sudah bangun!”
Pekikan anak sopran cempreng terdengar di dekatku, membuatku memandang berkeliling ruangan dengan bingung. Ruangannya serba putih dan tampak dingin. Aku baru sadar kepalaku disangga bantal yang lumayan empuk dan tubuhku terbaring tak berdaya di tempat tidur yang agak keras—khas rumah sakit—dan di tanganku terpasang berbagai macam selang; belum lagi kepalaku yang terbebat rapi, membuatnya berat.
“Siapa namamu, nak?”
“Err… Aku…” kosong, pikiranku benar-benar terasa blank, dark. Semua memori yang ada di dalam otakku terasa seperti baru saja teracak-acak, arsip memorinya terasa berantakan. Tidak. Aku menutup mata erat-erat, kepalaku pening.
“Tidak apa-apa. Kau luka parah. Aku tidak heran jika kau amnesia.”
Amnesia? Aku mengerenyitkan dahi. Tidak, aku tidak amnesia. Namaku… Za—Zavala?
“Za—Zavala,” aku berujar lirih. “Zavala Casanova Artois.”
Aku hidup?
***
“SUDAH KUBILANG, KAN?! SENIOR ARTOIS TIDAK MUNGKIN MATI SECEPAT ITU!” pekikan bahagia terlontar dari bibir Snowden ketika melihatku bersender di salah satu tiang di peron 9 ¾, menunggu Hogwarts Express dari kastil tua itu kembali ke King Cross. Beberapa orang langsung berhamburan ke arahku, setengah tidak percaya aku masih hidup, setelah berita kematianku yang mereka terima beberapa bulan lalu. Yah—mereka juga tahu dariku sih, aku ternyata masih diijinkan hidup; setelah surat yang kukirim untuk mereka.
Aku hanya bisa nyengir lebar ketika mereka menubrukku, termasuk beberapa senior dan teman seangkatan yang ikut datang ke stasiun itu. Senior Vygotzsky mengacak rambutku, senior Napoleon dan Lovecraft menebar-nebar confetti. Mereka… Selalu saja seperti itu. Masih seperti dulu eh, saat aku masih bocah kecil ingusan yang payah dan hanya bisa membuat tim kalah.
Dan satu hal yang tak kuduga—
—Agatheness memelukku dan menangis.
“Aku pulang, semua.”
Labels: agatheness, artois, fic, happy ending, ILYAF, ravenclaw, them, tim

